Jumat, 15 April 2011

Subordinatkah Perempuan dalam Industri Maskulin



Peningkatan akses wanita pada industri manufaktur atau industri maskulin (yang menurut kaum feminist disebut demikian karena dilatarbelakangi oleh dominasi kekuatan pria dalam membangun dan mengembangkan industri tersebut) dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counterbalance) eksistensi pria yang pada kondisi terbaik pun bukan untuk melayani kepentingan wanita. Dan kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada “perspektif dan tafsir baru”.
Masuknya wanita dalam industri maskulin dikuatkan oleh isu gender di Indonesia yang termaktub dalam inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarustamaan gender dalam pembangunan nasional. Konsep ini adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Perkembangan industri sebagaimana kita ketahui banyak sekali menyerap tenaga kerja wanita. Dan kondisi minor terhadap eksistensi wanita dari deru asap pabrik-pabrik industri manufaktur. (Daulay, 2001).
Penguasaan industri manufaktur yang dalam prosesnya banyak melibatkan pria ternyata menimbulkan arahan wacana dalam konteks posisi wanita dalam industri tersebut. Kebutuhan komperehensif serta integratif antara pemikiran dan tenaga dalam mengembangkan usaha sangat dibutuhkan. Dan penjelasan lebih lanjut dalam industri manufaktur terdefinisi menjadi suatu cabang industri yang mengaplikasikan peralatan dan suatu medium proses untuk transformasi bahan mentah menjadi barang jadi  untuk dijual. Upaya ini melibatkan semua proses antara yang dibutuhkan untuk produksi dan integrasi komponen-komponen suatu produk. Beberapa industri, seperti produsen semikonduktor dan baja, juga menggunakan istilah fabrikasi atau pabrikasi. Sektor manufaktur sangat erat terkait dengan rekayasa  atau teknik. (http://id.wikipedia.org/wiki/Manufaktur).
Padahal tak bisa dipungkiri keberadaan wanita dalam sektor publik yang melibatkan tenaga sudah tidak asing kita kudap setiap hari. Beberapa media juga telah mengangkat isu serupa untuk menggemboskan isu wanita sebagai konco wingking dan sering menimbulkan cinderella complex (suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga, sehingga mereka merasa tak berani dan tak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh) bagi wanita (Ibrahim, 7: 2007).
Ideologis domestik yang seringkali menyudutkan wanita ternyata selama beberapa dekade terakhir dipatahkan oleh kiprah wanita itu sendiri. Selama ini sistem patriarkhi telah menempatkan wanita pada kondisi subordinat. Penempatan pada posisi buruh acapkali kita temui di industr-industri seperti tekstil, rokok, dll. Mereka dicitrakan sebagai buruh ideal yang terampil, rajin, teliti, dan patuh. Citra semacam ini menjadi mitos yang dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakumulasi modal. ( Tjandraningsih 1997; 253).
Fakih (1996) mengklasifikasikan bahwa kondisi wanita saat ini termanifestasikan dalam bentuk:
1.    Marginalisasi dan proses pemiskinan ekonomi
2.    Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik
3.    Stereotip atau pelabelan negatif
4.    Kekerasan, dan
5.    Beban kerja di rumah tangga
Berdasarkan analisis ketidakadilan yang termanifestasikan diatas dapat kita tarik garis saat kita korelasikan terhadap struktur organisasi dalam industri manufaktur.
Dewasa ini sudah banyak wanita yang sudah mampu memasuki sektor publik dan tidak hanya sebagai supporting staff namun bahkan banyak juga yang menduduki jajaran middle hingga top manajemen. Sebagai contoh yang telah terpublish diberbagai media adalah menjabatnya seorang wanita yang menjadi direktur pada sebuah perusahaan minyak nasional. Strategisnya posisi sosok wanita menjadi sebuah tonggak perubahan yang signifikan terhadap subordinat yang selama ini dirasakan.
Perjuangan para wanita yang eksis di industri maskulin (manufaktur) secara esensi telah mendeklarasikan dua kata penting dalam tataran struktur sosial, yaitu reformasi dan transformasi. Reformer diartikan sebagai pencari perubahan terhadap struktur yang ada dengan cara berjuang untuk mencapai hak-hak yang sama dengan pria. Sedangkan transformer berarti mencari suatu tantangan gender yang baru, yang akan membebaskn semua wanita melalui perubahan yang radikal dalam sistem nilai yang ada.
Konteks subordinasi akan selalu kita hubungkan dengan kelompok ordinat atau superior dan tersubordinasi. Hubungan ini melukiskan interval yang cukup signifikan antara kedua variabel tersebut. Seringkali wanita menjadi subordinat karena ke irrasionalkan, emosional, dan lemah sehinggan menempatkan perempuan pada posisi yang kurang strategis. Sistem ini terinternalisasi dalam sistem kapitalis yang menganggap bahwa laki-laki dibangun sebagai “tuan” dan relasinya wanita sebagai “buruh”
Sehingga bisa disimpulkan keberadaan wanita dalam industri manufaktur memang dibutuhkan untuk memberikan sentuhan khas perempuan yang memiliki nilai-nilai matriarkhi yang tidak dimiliki oleh laki-laki demi menjaga keberlangsungan perusahaan dan bertahan.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. 1997.  Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia kontemporer.  Yogyakarta: Jalasutra
Daulay, Harmona. 2001. Buruh Perempuan di Industri Manufaktur Suatu Kajian dan Analisis Gender.  FISIP USU.

2 komentar:

  1. wewww kerennn le,,,,kesetaraan gender kn sekarang lg digiat2kannya,,but jangan lupa,,jika sudah berkeluarga memang suami sebagai tuan ataupun jika belum ayahlah tuannya.....

    BalasHapus
  2. Wah, momentnya paz, Kartinian ya... Eh, tapi aku ga begitu paham pengaruh gender pada keefektifan kerjanya.. maksudnya, jika suatu bidang di kantor, apakah akan beda jika yang pegang itu cowok ato cewek? Bedanya terletak dimana?

    BalasHapus