Rabu, 20 April 2011

Matriarkhi dalam Isu Ketahan Pangan

Harga pangan menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Februari 2011 setelah naik secara berturut-turut selama 8 bulan terakhir (Bisnis Indonesia, 4 Maret 2011) itulah salah satu headline yang mewarnai pergerakan isu pangan selama bulan Maret hingga April di media cetak. Kecemasan terhadap ketahanan pangan di Indonesia semakin membuat negara yang untuk pertama kalinya pada tahun 1984 mampu berswasembada beras dan pada tahun 1994 mendapat penghargaan dari Food and Agricultural Organization (FAO). Dan pada tahun 2008 mampu mengulang kejayaan yang sama dibawan menteri pertanian saat itu Dr. Anton Apriyantono.[i]
Setidaknya terdapat empat faktor menurut Tadaro (1995) yang mendorong dimensi ketahanan pangan menjadi masalah sekaligus perhatian dalam setiap perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan, keempat faktor itu adalah
1.      Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga terjadi eksploitasi berlebih terhadap SDA
2.      Pertambahan penduduk yang tidak terkendali
3.      Kegagalan teknologi dalam konversi dan subtitusi kemampuan penyediaan produk pengganti, dan
4.      Perilaku konsumtif yang dipacu oleh adanya kapitalisasi dan komodifikasi lingkungan.
Kegagalan dalam mengelola keempat faktor tersebut telah mendorong banyak negara berkembang termasuk Indonesia sedang berhadapan dengan masalah serius yaitu “ketahanan pangan”. Dan hal tersebut semakin diperparah lagi dengan krisis dan pemanasan global yang menyebabkan anomali iklim sangat fluktuatif dan unpredicted. Sehingga dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak dalam mengatasi masalah pangan agar ramalan Malthus (dalam Mantra, 2003) yang menyatakan bencana kelaparan akan terjadi di bumi karena berlebihnya pertumbuhan jumlah penduduk dibandingkan dengan pertumbuhan pemenuhan kebutuhan pangan.
Berita terkait menyebutkan data dari Bank Dunia yang melaporkan kenaikkan harga pangan telah mendorong sekitar 44 juta orang jatuh dalam kemiskinan di negara berkembang sejak bulan Juni 2010 termasuk Indonesia (Bisnis Indonesi, 4 Maret 2011). Penanganan serius harus melibatkan seluruh stakedolders terutama masyarakat. Urgensi yang sangat diharapkan adalah dengan menggandeng perempuan baik secara individual maupun organisasional. Pelibatan kaum perempuan menjadi sangat penting dan strategis karena menurut Greece (1998) memberikan alasan bahwa:
1.    Kaum perempuan adalah yang pertama dan utama terkena implikasi dan dampak pembangunan
2.    Kelompok perempuan merupakan mayoritas penduduk yang terlibat dan bersinggungan dengan kedua bidang tersebut.
3.    Upaya pemberdayaan kaum perempuan agar mempunyai kesetaraan dalam pengambilan kebijakan publik
4.    Pelibatan kaum perempuan selain sebagai upaya kesetaraan gender, yang penting lagi adalah penguatan demokratisasi.
Ketahan pangan mensyaratkan ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan makan. Dalam studinya di negara berkembang, Greece mengungkapkan temuan bahwa kelompok perempuanlah yang paling rentan terkena dampak negatif krisis ketahanan pangan dunia. Berbagai fakta muncul di tanah air, yang merefleksikan bahwa Indonesia masuk dalam klasifikasi ini. Masih tingginya tigkat kematian bayi dan ibu di negeri ini merupakan salah satu indikator kerentanan kelompok perempuan dalam menghadapi masalah lingkungan dan ketahanan pangan (Amiruddin dan Lita Purnama, 2005).
Sementara itu Vandana Shiva (1991) dalam penelitianya di India mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh implementasi kebijkana revolusi hijau di bidang pertanian ternyata tidak saja membuat kelompok perempuan tidak mampu mempertahankan kelangsungan ekonomi rumahtangganya dan ketercukupan pangan sehingga kemudia memicu konflik sosial.
Pemberdayaan perempuan dalam ketahanan pangan dapat diartikan upaya memperbesar akses dan kontrol kelompok-kelompok marginal atas sumber daya ekonomi, politik (pengambilan keputusan), dan budaya (perumusan nilai, simbol, dan ideologi). Tuntutan masyarakat dan keluarga terhadap perempuan, yang secara tradisional dikonstruksikan di dalam rumah sebagai ibu dan istri, menjadi tembok penghalang bagi perempuan untuk aktif berperan dalam kehidupan publik. Stigma yang sering kali diberikan pada perempuan yang aktif juga menyulitkan perempuan, makin susah bagi perempuan melanggar rambu yang ditetapkan masyarakat.[ii]
Padahal, hasil penelitian Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan kaum perempuan memproduksi sekitar 70% bahan pangan di negara-negara sedang berkembang dan bertanggung jawab atas 50% produksi pangan dunia. Namun peran kunci kaum perempuan sebagai produsen dan penyedia pangan dan peran yang sangat menentukan dalam memperkukuh ketahanan pangan dan kemandirian pangan rumah tangga belum mendapat perhatian proporsional.
Masalah pangan selama ini didekati dengan pandangan bersifat patriarki, terlalu teknis, rasional, persaingan, sehingga penyelesaiannya pun tak pernah menyeluruh. Padahal, kehidupan di alam semesta hanya bisa berkesinambungan dari masa lampau ke saat ini sampai ke masa depan karena ada kerahiman tak bersyarat unconditional love alam, yang dalam pikiran Timur disebut Ibu atau Mother Nature.
Pencipataan paradigma matriarkhi (budaya wanita sebagai pemimpin yang mendominasi)[i]  dalam upaya menyelamatkan pangan merupakan tindakan strategis dalam gerakan ketahanan pangan. Perempuan adalah manajer rumah tangga yang berperan aktif dalam gerakan menjaga lingkungan yang merupakan prasyarat ketersediaan pangan dan dalam usaha penguatan ketahanan pangan. Apalagi ketika perempuan tidak hanya bergerak secara individual, akan tetapi juga dengan kekuatan instituional. Dan sebuah keniscyaan modal sosial muncul sebagai transportasi mobilitas.


[i] http://www.wikipedia. org/wiki/matrilineal

Daftar Pustaka

Amiruddin, Mariana dan Lita Purnama, “Tragedi Kelaparan Nasional” dan Feminisasi Kemiskinan” dalam Jurnal Perempuan Volume 42, Th 200.
Greece, Patricia. 1998. The Woman and Development, New Jersey: Princeton University Press
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Shiva, Vindana. 1991.  The Violence of The Green Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc.
Tadaro, Michael. 1990.  Economics for a Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc




[i](http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&sqi=2&ved=0CBQQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.bbalitvet.org%2Findex.php%3Foption%3Dcom_docman%26task%3Ddoc_download%26gid%3D91&rct=j&q=sejarah%20swasembada%20beras&ei=I4F9Tfn8IoPUrQf86NC7BQ&usg=AFQjCNFwnPH_0vM73fN1v2GCouSXAsKX9A&sig2=v4yyZpD6nO6brsXDov0zqg&cad=rja)
[ii] http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/28/107362/Perempuan-Ujung-Tombak-Ketahanan-Pangan
[iii] http://www.wikipedia. org/wiki/matrilineal

Daftar Pustaka

Amiruddin, Mariana dan Lita Purnama, “Tragedi Kelaparan Nasional” dan Feminisasi Kemiskinan” dalam Jurnal Perempuan Volume 42, Th 200.
Greece, Patricia. 1998. The Woman and Development, New Jersey: Princeton University Press
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Shiva, Vindana. 1991.  The Violence of The Green Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc.
Tadaro, Michael. 1990.  Economics for a Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar