Rabu, 20 April 2011

Matriarkhi dalam Isu Ketahan Pangan

Harga pangan menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Februari 2011 setelah naik secara berturut-turut selama 8 bulan terakhir (Bisnis Indonesia, 4 Maret 2011) itulah salah satu headline yang mewarnai pergerakan isu pangan selama bulan Maret hingga April di media cetak. Kecemasan terhadap ketahanan pangan di Indonesia semakin membuat negara yang untuk pertama kalinya pada tahun 1984 mampu berswasembada beras dan pada tahun 1994 mendapat penghargaan dari Food and Agricultural Organization (FAO). Dan pada tahun 2008 mampu mengulang kejayaan yang sama dibawan menteri pertanian saat itu Dr. Anton Apriyantono.[i]
Setidaknya terdapat empat faktor menurut Tadaro (1995) yang mendorong dimensi ketahanan pangan menjadi masalah sekaligus perhatian dalam setiap perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan, keempat faktor itu adalah
1.      Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga terjadi eksploitasi berlebih terhadap SDA
2.      Pertambahan penduduk yang tidak terkendali
3.      Kegagalan teknologi dalam konversi dan subtitusi kemampuan penyediaan produk pengganti, dan
4.      Perilaku konsumtif yang dipacu oleh adanya kapitalisasi dan komodifikasi lingkungan.
Kegagalan dalam mengelola keempat faktor tersebut telah mendorong banyak negara berkembang termasuk Indonesia sedang berhadapan dengan masalah serius yaitu “ketahanan pangan”. Dan hal tersebut semakin diperparah lagi dengan krisis dan pemanasan global yang menyebabkan anomali iklim sangat fluktuatif dan unpredicted. Sehingga dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak dalam mengatasi masalah pangan agar ramalan Malthus (dalam Mantra, 2003) yang menyatakan bencana kelaparan akan terjadi di bumi karena berlebihnya pertumbuhan jumlah penduduk dibandingkan dengan pertumbuhan pemenuhan kebutuhan pangan.
Berita terkait menyebutkan data dari Bank Dunia yang melaporkan kenaikkan harga pangan telah mendorong sekitar 44 juta orang jatuh dalam kemiskinan di negara berkembang sejak bulan Juni 2010 termasuk Indonesia (Bisnis Indonesi, 4 Maret 2011). Penanganan serius harus melibatkan seluruh stakedolders terutama masyarakat. Urgensi yang sangat diharapkan adalah dengan menggandeng perempuan baik secara individual maupun organisasional. Pelibatan kaum perempuan menjadi sangat penting dan strategis karena menurut Greece (1998) memberikan alasan bahwa:
1.    Kaum perempuan adalah yang pertama dan utama terkena implikasi dan dampak pembangunan
2.    Kelompok perempuan merupakan mayoritas penduduk yang terlibat dan bersinggungan dengan kedua bidang tersebut.
3.    Upaya pemberdayaan kaum perempuan agar mempunyai kesetaraan dalam pengambilan kebijakan publik
4.    Pelibatan kaum perempuan selain sebagai upaya kesetaraan gender, yang penting lagi adalah penguatan demokratisasi.
Ketahan pangan mensyaratkan ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan makan. Dalam studinya di negara berkembang, Greece mengungkapkan temuan bahwa kelompok perempuanlah yang paling rentan terkena dampak negatif krisis ketahanan pangan dunia. Berbagai fakta muncul di tanah air, yang merefleksikan bahwa Indonesia masuk dalam klasifikasi ini. Masih tingginya tigkat kematian bayi dan ibu di negeri ini merupakan salah satu indikator kerentanan kelompok perempuan dalam menghadapi masalah lingkungan dan ketahanan pangan (Amiruddin dan Lita Purnama, 2005).
Sementara itu Vandana Shiva (1991) dalam penelitianya di India mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh implementasi kebijkana revolusi hijau di bidang pertanian ternyata tidak saja membuat kelompok perempuan tidak mampu mempertahankan kelangsungan ekonomi rumahtangganya dan ketercukupan pangan sehingga kemudia memicu konflik sosial.
Pemberdayaan perempuan dalam ketahanan pangan dapat diartikan upaya memperbesar akses dan kontrol kelompok-kelompok marginal atas sumber daya ekonomi, politik (pengambilan keputusan), dan budaya (perumusan nilai, simbol, dan ideologi). Tuntutan masyarakat dan keluarga terhadap perempuan, yang secara tradisional dikonstruksikan di dalam rumah sebagai ibu dan istri, menjadi tembok penghalang bagi perempuan untuk aktif berperan dalam kehidupan publik. Stigma yang sering kali diberikan pada perempuan yang aktif juga menyulitkan perempuan, makin susah bagi perempuan melanggar rambu yang ditetapkan masyarakat.[ii]
Padahal, hasil penelitian Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan kaum perempuan memproduksi sekitar 70% bahan pangan di negara-negara sedang berkembang dan bertanggung jawab atas 50% produksi pangan dunia. Namun peran kunci kaum perempuan sebagai produsen dan penyedia pangan dan peran yang sangat menentukan dalam memperkukuh ketahanan pangan dan kemandirian pangan rumah tangga belum mendapat perhatian proporsional.
Masalah pangan selama ini didekati dengan pandangan bersifat patriarki, terlalu teknis, rasional, persaingan, sehingga penyelesaiannya pun tak pernah menyeluruh. Padahal, kehidupan di alam semesta hanya bisa berkesinambungan dari masa lampau ke saat ini sampai ke masa depan karena ada kerahiman tak bersyarat unconditional love alam, yang dalam pikiran Timur disebut Ibu atau Mother Nature.
Pencipataan paradigma matriarkhi (budaya wanita sebagai pemimpin yang mendominasi)[i]  dalam upaya menyelamatkan pangan merupakan tindakan strategis dalam gerakan ketahanan pangan. Perempuan adalah manajer rumah tangga yang berperan aktif dalam gerakan menjaga lingkungan yang merupakan prasyarat ketersediaan pangan dan dalam usaha penguatan ketahanan pangan. Apalagi ketika perempuan tidak hanya bergerak secara individual, akan tetapi juga dengan kekuatan instituional. Dan sebuah keniscyaan modal sosial muncul sebagai transportasi mobilitas.


[i] http://www.wikipedia. org/wiki/matrilineal

Daftar Pustaka

Amiruddin, Mariana dan Lita Purnama, “Tragedi Kelaparan Nasional” dan Feminisasi Kemiskinan” dalam Jurnal Perempuan Volume 42, Th 200.
Greece, Patricia. 1998. The Woman and Development, New Jersey: Princeton University Press
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Shiva, Vindana. 1991.  The Violence of The Green Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc.
Tadaro, Michael. 1990.  Economics for a Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc




[i](http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&sqi=2&ved=0CBQQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.bbalitvet.org%2Findex.php%3Foption%3Dcom_docman%26task%3Ddoc_download%26gid%3D91&rct=j&q=sejarah%20swasembada%20beras&ei=I4F9Tfn8IoPUrQf86NC7BQ&usg=AFQjCNFwnPH_0vM73fN1v2GCouSXAsKX9A&sig2=v4yyZpD6nO6brsXDov0zqg&cad=rja)
[ii] http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/28/107362/Perempuan-Ujung-Tombak-Ketahanan-Pangan
[iii] http://www.wikipedia. org/wiki/matrilineal

Daftar Pustaka

Amiruddin, Mariana dan Lita Purnama, “Tragedi Kelaparan Nasional” dan Feminisasi Kemiskinan” dalam Jurnal Perempuan Volume 42, Th 200.
Greece, Patricia. 1998. The Woman and Development, New Jersey: Princeton University Press
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Shiva, Vindana. 1991.  The Violence of The Green Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc.
Tadaro, Michael. 1990.  Economics for a Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc

Jumat, 15 April 2011

Subordinatkah Perempuan dalam Industri Maskulin



Peningkatan akses wanita pada industri manufaktur atau industri maskulin (yang menurut kaum feminist disebut demikian karena dilatarbelakangi oleh dominasi kekuatan pria dalam membangun dan mengembangkan industri tersebut) dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counterbalance) eksistensi pria yang pada kondisi terbaik pun bukan untuk melayani kepentingan wanita. Dan kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada “perspektif dan tafsir baru”.
Masuknya wanita dalam industri maskulin dikuatkan oleh isu gender di Indonesia yang termaktub dalam inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarustamaan gender dalam pembangunan nasional. Konsep ini adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Perkembangan industri sebagaimana kita ketahui banyak sekali menyerap tenaga kerja wanita. Dan kondisi minor terhadap eksistensi wanita dari deru asap pabrik-pabrik industri manufaktur. (Daulay, 2001).
Penguasaan industri manufaktur yang dalam prosesnya banyak melibatkan pria ternyata menimbulkan arahan wacana dalam konteks posisi wanita dalam industri tersebut. Kebutuhan komperehensif serta integratif antara pemikiran dan tenaga dalam mengembangkan usaha sangat dibutuhkan. Dan penjelasan lebih lanjut dalam industri manufaktur terdefinisi menjadi suatu cabang industri yang mengaplikasikan peralatan dan suatu medium proses untuk transformasi bahan mentah menjadi barang jadi  untuk dijual. Upaya ini melibatkan semua proses antara yang dibutuhkan untuk produksi dan integrasi komponen-komponen suatu produk. Beberapa industri, seperti produsen semikonduktor dan baja, juga menggunakan istilah fabrikasi atau pabrikasi. Sektor manufaktur sangat erat terkait dengan rekayasa  atau teknik. (http://id.wikipedia.org/wiki/Manufaktur).
Padahal tak bisa dipungkiri keberadaan wanita dalam sektor publik yang melibatkan tenaga sudah tidak asing kita kudap setiap hari. Beberapa media juga telah mengangkat isu serupa untuk menggemboskan isu wanita sebagai konco wingking dan sering menimbulkan cinderella complex (suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga, sehingga mereka merasa tak berani dan tak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh) bagi wanita (Ibrahim, 7: 2007).
Ideologis domestik yang seringkali menyudutkan wanita ternyata selama beberapa dekade terakhir dipatahkan oleh kiprah wanita itu sendiri. Selama ini sistem patriarkhi telah menempatkan wanita pada kondisi subordinat. Penempatan pada posisi buruh acapkali kita temui di industr-industri seperti tekstil, rokok, dll. Mereka dicitrakan sebagai buruh ideal yang terampil, rajin, teliti, dan patuh. Citra semacam ini menjadi mitos yang dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakumulasi modal. ( Tjandraningsih 1997; 253).
Fakih (1996) mengklasifikasikan bahwa kondisi wanita saat ini termanifestasikan dalam bentuk:
1.    Marginalisasi dan proses pemiskinan ekonomi
2.    Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik
3.    Stereotip atau pelabelan negatif
4.    Kekerasan, dan
5.    Beban kerja di rumah tangga
Berdasarkan analisis ketidakadilan yang termanifestasikan diatas dapat kita tarik garis saat kita korelasikan terhadap struktur organisasi dalam industri manufaktur.
Dewasa ini sudah banyak wanita yang sudah mampu memasuki sektor publik dan tidak hanya sebagai supporting staff namun bahkan banyak juga yang menduduki jajaran middle hingga top manajemen. Sebagai contoh yang telah terpublish diberbagai media adalah menjabatnya seorang wanita yang menjadi direktur pada sebuah perusahaan minyak nasional. Strategisnya posisi sosok wanita menjadi sebuah tonggak perubahan yang signifikan terhadap subordinat yang selama ini dirasakan.
Perjuangan para wanita yang eksis di industri maskulin (manufaktur) secara esensi telah mendeklarasikan dua kata penting dalam tataran struktur sosial, yaitu reformasi dan transformasi. Reformer diartikan sebagai pencari perubahan terhadap struktur yang ada dengan cara berjuang untuk mencapai hak-hak yang sama dengan pria. Sedangkan transformer berarti mencari suatu tantangan gender yang baru, yang akan membebaskn semua wanita melalui perubahan yang radikal dalam sistem nilai yang ada.
Konteks subordinasi akan selalu kita hubungkan dengan kelompok ordinat atau superior dan tersubordinasi. Hubungan ini melukiskan interval yang cukup signifikan antara kedua variabel tersebut. Seringkali wanita menjadi subordinat karena ke irrasionalkan, emosional, dan lemah sehinggan menempatkan perempuan pada posisi yang kurang strategis. Sistem ini terinternalisasi dalam sistem kapitalis yang menganggap bahwa laki-laki dibangun sebagai “tuan” dan relasinya wanita sebagai “buruh”
Sehingga bisa disimpulkan keberadaan wanita dalam industri manufaktur memang dibutuhkan untuk memberikan sentuhan khas perempuan yang memiliki nilai-nilai matriarkhi yang tidak dimiliki oleh laki-laki demi menjaga keberlangsungan perusahaan dan bertahan.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. 1997.  Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia kontemporer.  Yogyakarta: Jalasutra
Daulay, Harmona. 2001. Buruh Perempuan di Industri Manufaktur Suatu Kajian dan Analisis Gender.  FISIP USU.

Rabu, 13 April 2011

Social Emotional Approach Sebagai Marketing PR Melalui Tradisi Panen Raya

Dibalik pertumbuhan gaya hidup anak negeri yang mulai tidak mau ketinggalan zaman dengan negara maju yang semakin meningkat, memikat dan mengundang hasrat dengan berbagai saluran yang mereka transformasikan melalui kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya industri yang bernafaskan leisuristic (menjadikan orang menjadi malas), egosentric (menjadi egois), dan bahkan hedonistic (kemewahan), ternyata masih ada sebagian masyarakat yang masih berorientasi pada kehidupan alterntif yaitu kehidupan yang memurnikan kembali tradisi-tradisi yang sudah entah kemana rimbanya atau istilah lainnya yaitu go green.

Kemeriahan panen raya dulunya dimeriahkan dengan berbagai tradisi yang berbeda disetiap daerah. Seperti tradisi “Wiwit Manten” di Demak, ritual dimulai dengan menyiapkan berbagai sesaji, berupa makanan tradisional ke area persawahan. Dipimpin oleh seorang tokoh adat setempat kemudian para petani berdoa dengan khusuk. Dalam tradisi ini, tanaman padi yang sudah layak dipanen kemudian dipotong dan diikat bersama bunga. Padi inilah yang dinamakan sebagai manten atau pengantin, untuk selanjutnya disimpan dalam lumbung, sebagai bahan makanan, dan sebagian lainnya sebagai benih pada musim tanam berikutnya.

Tradisi panen raya lain yaitu Ngalungi” yang ada di Blora. Tradisi ini diikuti ratusan petani dengan membawa sapi mereka ketempat perayaan panen raya. Hal ini dilakukan Sebagai wujud rasa syukur petani khususnya pemilik ternak untuk menghormati keberadaan sapi yang telah berjasa membantu petani mengolah lahan pertanian, khususnya dalam membajak sawah dan memanfaatkan kotorannya sebagai pupuk. tradisi Ngalungi dilakukan dengan mborehi atau mengusap sapi dengan bunga. Dilanjutkan tradisi Ngalungi di rumah dengan membagi-bagikan makanan seperti kupat serta lepet kepada tetangga. Di Bojonegoro, juga ada tradisi sedekah bumi dalam merayakan panen raya.

Panen raya sebuah tradisi yang semakin terpinggirkan dan tidak teridentifikasi bagi kaum muda mudi perkotaan yang tak mengenal sawah dan ladang pertaniannya bahkan bagi kembang dan kumbang desa yang semakin melirik urban area sebagai tempat mendulang emas, masih bisa kita tengok dibeberapa daerah. 

Peluang pemurnian tradisi seperti panen rayapun harus ditangkap perusahaan sebagai sebuah peluang emas dalam merangkul customernya dengan cekatan melalui strategi komunikasi pemasaran yang disebut Marketing Public Relationship (MPR). Strategi tersebut merupakan proses perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program-program yang dapat merangsang pembelian dan kepuasan customer melalui komunikasi informasi yang berkaitan dengan identitas perusahaan atau produknya sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan kepentingan bagi para konsumennya.

MPR menjadi sebuah strategi yang sangat inovatif bagi sebuah industri dalam mempertahankan customer atau menarik customer baru jika perusahaan mampu memahami benar karakteristik customernya. Sebagai contoh PT Petrokimia Gresik, produsen pupuk yang memiliki target audience berdemografis pedesaan mampu melakukan startegi MPR dengan membuat jembatan “social emotional” dan “ profitability” di daerah-daerah dengan mendukung penuh acara panen raya di daerah-daerah, seperti di Bojonegoro,  Magetan dan kota-kota lainnya.
 
Social emotional yang harus kita sadari adalah bahwa panen raya sebagai sebuah hajatan besar bagi warga desa, maka secara langsung melalui acara-acara seperti itu kita harus mampu mendekat dengan mereka agar bonding diantara perusahaan dengan petani semakin tercipta. Pendekatan emosional tersebut bisa kita lakukan dengan cara melakukan pendanaan penuh terhadap acara-acara yang mereka selenggarakan dimana melalui strategi itu profitability dengan mudah akan kita raih.

Selain itu secara tidak langsung mulut petani akan mampu menjadi corong direct selling yang tidak usah kita bayar. Dan jika kita tilik secara kuantitas, jumlah mereka sangat besar, bahkan lebih dekat dengan petani-petani lain yang belum mengunakan produk perusahaan dan belum terjangkau pihak marketing perusahaan. 

Sehingga memahami karakteristik customer adalah titik panas yang paling menentukan, dimana ketika kita sudah temukan titik tersebut, kita bisa mendekatinya dengan emosi yang dibungkus dengan apik dan detil melalui marketing PR.

Senin, 11 April 2011

Introduction

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and  Communication Technology/ICT) telah membawa sejumlah perubahan dalam kehidupan  masyarakat dunia. Dewasa ini masyarakat semakin cerdas dalam memperoleh informasi secara cepat dan lengkap dengan adanya jaringan komputer yang saling terhubung dari seluruh penjuru dunia (internet). Mekanisme baru dalam berkomunikasi, ditandai dengan penggunaan mutimedia dimana teks, suara, gambar atau grafis dapat diakses sekaligus ke dalam seperangkat media, telah mendorong perubahan di berbagai aktivitas industri komunikasi.

Kecepatan transformasi informasi dari satu tangan ke tangan yang lain melalui konvergensi media yang juga telah menunjukkan kedinamisan membuat kebutuhan informasi yang dulunya hanya disandang elite mampu mengakar hingga layer terendah sekalipun. Konvergensi menyebabkan perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik visual, audio, data dan sebagainya (Preston, 2001).

Perubahan yang sangat siginifikan dari web 1.0 pada tahun ditahun 1990 dengan ciri yang khusus pada
  1. Halaman statis, bukan dinamis pengguna-konten yang dihasilkan.
  2. Penggunaan framesets.
  3. Milik HTML ekstensi seperti dan tag diperkenalkan pada awal perang browser.
  4. Online guestbook.
  5. GIF tombol, biasanya 88×31 piksel dalam ukuran web browser dan mempromosikan produk lain.
  6. Pengguna akan mengisi formulir, dan setelah mereka mengklik mengirimkan email klien akan mencoba untuk mengirim email yang berisi formulir rincian.
Bertransformasi cepat di awal tahun 2001 berubah menjadi web 2.0. Web 2.0 mempunyai keuntungan yaitu memungkinkan pengguna internet dapat melihat konten suatu website tanpa harus berkunjung ke alamat situs yang bersangkutan. Kemampuan Web 2.0 juga dalam melakukan aktivitas drag and drop, auto complete, chat, dan voice seperti layaknya aplikasi desktop, bahkan berlaku seperti sistem operasi, dengan menggunakan dukungan AJAX atau berbagai plug-in (API) yang ada di internet. Seperti diketahui sebelumnya terjadi pergeseran dari Web 1.0 dengan Web 2.0 dapat dilihat sebagai hasil dari perbaikan teknologi, yang termasuk adaptasi tersebut sebagai “broadband, peningkatan browser, dan Ajax, naik ke Flash aplikasi dan platform pengembangan wigetization massa, seperti Flickr dan YouTube”. Sekarang, selama Web 2.0, penggunaan Web dapat berkarakter sebagai desentralisasi konten situs Web, yang dihasilkan dari sekarang ‘bottom-up’, dengan banyak pengguna yang kontributor produsen dan informasi, serta konsumen tradisional.

Web 2.0 yang bersifat read write  mempunyai kelebihan dimana interaksi sosial di dunia maya sudah menjadi kebutuhan, sehingga era Web 2.0 ini memiliki beberapa ciri mencolok seperti share, collaborate dan exploit. Di era Web 2.0 sekarang, penggunaan web untuk berbagi, pertemanan, kolaborasi menjadi sesuatu yang penting. Era Web 2.0 tidak membutuhkan orang jenius , tapi era ini lebih membutuhkan orang untuk saling berbagi ilmu, pengalaman atau lainnya sehingga terbentuk komunitas online besar yang menghapuskan sifat-sifat individu. yang terpenting bukanlah klaim sebagai Web 2.0, namun mampukah dampak perkembangan tersebut menjembatani pengguna internet dengan kepentingan perusahaan, komunitas, atau pengguna Web 2.0 bahkan web ini digunakan pula untuk komunikasi politik, yang nantinya akan dibahas dalam chapter selanjutnya.

Pengertian Web 2.0 yang mulanya berpusat pada konsumen pembaca/pengakses secara personal berkembang dan mulai berpusat pula pada pengguna korporat. Menurut Coach Wei (2006) Web 2.0 yang berpusat pada konsumen ia sebut Consumer 2.0 berkembang menjadi Enterprise 2.0. Aplikasi Web 2.0 yang awal perkembangannya didominasi untuk memampukan pembaca berinteraksi dengan pembuat berita dan pembaca lainnya, dalam Enterprise 2.0 aplikasi tersebut digunakan untuk mendukung operasi perusahaan. Misalnya untuk kegiatan iklan dengan adanya Google Adsense dan kegiatan humas dibantu adanya blog korporat.

Teknologi Web 2.0 mulai dikembangkan sekitar tahun 2004. Web 2.0 merupakan teknologi web yang menyatukan teknologi-teknologi yang dimiliki dalam membangun web. Penyatuan tersebut merupakan gabungan dari HTML, CSS, JavaScript, XML, dan AJAX. HTML selalu disandingkan dengan CSS untuk mempercantik tampilan web. JavaScript membuat tampilan yang dinamis. XML digunakan untuk mendefinisikan format data. AJAX adalah penggabungan dari JavaScript dan XML yang menekankan pada pengelolaan konten.

Istilah “Web 2.0″ menjelaskan perubahan tren dalam penggunaan World Wide Web dan teknologi web desain yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas, komunikasi, aman berbagi informasi, kerjasama dan fungsi web. Web 2.0 telah mengarah ke konsep pengembangan dan evolusi web dan budaya masyarakat host layanan, seperti situs jaringan sosial, situs berbagi video, wiki, blog, dan folksonomies. Istilah menjadi terkemuka setelah pertama O’Reilly Media Web 2.0 konferensi pada tahun 2004. Walaupun istilah menyarankan sebuah versi baru dari World Wide Web, tidak lihat pembaruan untuk setiap spesifikasi teknis, tetapi mengacu pada cara perangkat lunak pengembang dan pengguna akhir memanfaatkan Web.

dan akhir-akhir ini pergerakannya sudah mengarah ke web 3.0 Konsep ini dapat diandaikan sebuah website sebagai sebuah intelektualitas buatan (Artificial Intelegence). Aplikasi – aplikasi online dalam website dapat saling berinteraksi. Kemampuan interaksi ini dimulai dengan adanya web service. Jadi, disini web seolah-olah sudah seperti asisten pribadi kita. Web mulai mengerti kebutuhan kita dengan bisa memberi saran atau nasehat kita, menyediakan apa yang kita butuhkan. Dengan menggunakan teknologi 3D animasi, kita bisa membuat profil avatar yang sesuai dengan karakter, kemudian melakukan aktivitas di dunia maya seperti layaknya di dunia nyata. Kita bisa berjalan-jalan, pergi ke mall, bercakap-cakap dengan teman yang lain. Namun lambat laun kebiasaan dan kebutuhan orang di dunia maya selalu berubah dan bertambah. Hal ini juga sejalan dengan semakin cepatnya akses internet broadband dan teknologi komputer yang semakin canggih. Jika pada telekomunikasi sudah mulai terdengar isu era 4G, begitu juga yang terjadi pada dunia website yang juga memunculkan isu akan segera hadirnya era baru yaitu Web 3.0 Teknologi web generasi ketiga ini merupakan perkembangan lebih maju dari Web 2.0 dimana disini web seolah-olah sudah seperti kehidupan di alam nyata. Web 3.0 memiliki ciri-ciri umum seperti suggest, happen dan provide.

Web 3.0 adalah salah satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan tahap evolusioner dari Web yang berikut Web 2.0 Mengingat bahwa teknis dan sosial dalam mengidentifikasi kemungkinan kedua istilah ini belum sepenuhnya menyadari sifat mendefinisikan Web 3.0 sangat spekulatif. Secara umum merujuk kepada aspek yang internet, walaupun mungkin berpotensi, secara teknis tidak layak atau praktis saat ini. Banyak industri yang memanfaatkan teknologi web 3.0 untuk strategi marketingnya. 

Perubahan teknologi informasi yang sangat cepat ini hendaknya dimanfaatkan secara positif dalam menyebarkan informasi kepada khalayak, semoga blog ini mampu memberikan manfaat dan makna bagi khalayak, karena dua kata itu menjadi indikasi kesuksesan bagi penulis.