Minggu, 12 Juni 2011

REVITALISASI PERTANIAN DI TENGAH JENUHNYA ISU KRISIS PANGAN

Sebagai negara agraris Indonesia seharusnya mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman bahan makanan, subsektor holtikultura, subsektor perikanan, subsektor peternakan, dan subsektor kehutanan. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia bekerja sebagai petani. Namun produktivitas pertanian masih jauh dari harapan.
Dalam perekonomian Indonesia, sektor pertanian memiliki posisi yang strategis, selain sebagai sumber penyedia pangan nasional, juga sebagai lahan mencari kehidupan bagi sebagaian rakyat. Pentingnya sektor pertanian tertuang dalam risalah PDB hingga akhir tahun 2009.
Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2009 (Milliar Rupiah)

No
Lapangan Usaha
2006

%
2007
%
2008
%
1
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan
262.402,8

14,21
271.401,2
13,83
284.337,8
13,66
2
Pertambangan dan Penggalian
168.031, 7

9,10
171.422,1
8,73
172.300,0
8,28
3
Industri Pengolahan
514.100,3
27,83
538.084,6
27,41
557.765,6
26,79
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
12.251,0
0,66
13.517,1
0,69
14.993,7
0,72
5
Konstruksi
112.233,6
6,08
121.901,0
6,21
130.815,7
6,28
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
312.518,7

16,92
338.807,2
17,26
363.314,0
17,45
7
Pengangkutan dan Komunikasi
124.808,9

6,76
142.327,2
7,25
166.076,8
7,98
8
Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
170.074,3

9,21
183.659,3
9,36
198.799,6
9,55
9
Jasa-Jasa
170.705,4
9,24
181.972,1
9,27
193.700,5
9,30

Produk Domestik Bruto
1.847.126,7
100
1.963.091,8
100
2.082.103,7
100
Keterangan : * Angka Sementara
Sumber : Statistik Indonesia, 2009

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki PDB paling besar, sementara sektor pertanian berada di peringkat ketiga setelah industri dan perdagangan. Dalam proses pembangunan, selain memperhitungkan dampak aktifitas ekonomi terhadap kehidupan sosial masyarakat, lebih dari itu dalam proses pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian kearah yang lebih baik (Kuncoro, Mudrajad; 1997).
Salah satu faktor penyebab kurangnya produktivitas pertanian adalah sumber daya manusia yang masih rendah dalam mengolah lahan pertanian dan hasilnya. Mayoritas petani di Indonesia masih menggunakan sistem manual dalam pengolahan lahan pertanian.
Hingga saat ini sektor pertanian hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 44,04%. Sehingga perlu diadakanya revitalisasi pertanian yang diharapkan menjadi jaring pengaman sosial (Social Safety Net). Pasalnya tingkat konsumsi beras nasional yang mencapai 33 Juta Ton menjadikan Indonesia sebagai konsumen pangan terbesar di dunia (Bisnis Indonesia, 19 Mei 2011). Bahkan ancaman krisis pangan makin menjadi hantu bagi pemerintah. Ketergantungan Indonesia yang besar terhadap impor sejumlah komoditas pangan utama, menyebabkan negeri ini terancam  krisis pangan.
Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi tahun ini Indonesia akan surplus beras 4 Juta ton(Bisnis Indonesia, 19 Mei 2011), faktanya Tahun ini, Indonesia berencana kembali mengimpor beras sebesar 1,75 juta ton. Jika ini terealisasi, Indonesia merupakan importir beras terbesar kedua di dunia. Bukan hanya beras, ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan nasional utama lainnya terhadap impor juga cukup besar seperti kedelai (70 persen), garam (50 persen), daging sapi (23 persen), dan jagung (11,23 persen). (http://arsipberita.com/show/direktur-indef-indonesia-dalam-ancaman-krisis-pangan-172817.html)
Kebijakan revitalisasi pertanian sebenarnya bukan hal yang anyar di negeri ini, di era orde lama sudah pernah ada kebijakan seperti ini, namun kebijakan tersebut belum mampu menghasilkan percepatan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan kesejahteraan bagi petani.
Menurut Sutanto (2006: 5-6) menyebutkan bahwa tiga pilar dalam revitalisasi pertanian yaitu, pertama pengertian revitalisasi pertanian sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian dalam arti vitalnya pertanian bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia, Kedua revitalisasi pertanian sebagai bentuk rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian dan ketiga revitalisasi pertanian sebagai kebijakan dan strategi besar melakukan “proses revitalisasi” itu sendiri. Dari ketiga pilar tersebut pada akhirnya revitalisasi pertanian harus dipahami sebagai usaha strategis untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat dan mengurangi kemiskinan serta membangun ketahanan pangan.
Isu ketahanan pangan yang makin acap dibicarakan di media disebabkan krisis pangan yang melanda hampir setiap negara sehingga harus dilakukan upaya strategis yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya dengan evolusi pertanian. Menurut Todaro, Michael (2006) ada tiga pokok dalam evolusi produksi pembangunan pertanian sebagai berikut :
1.        Pertanian tradisional yang produktivitasnya rendah
2.        Produk pertanian sudah mulai terjadi dimana produk pertanian sudah ada yang dijual ke sektor komersial atau pasar, tetapi pemakaian modal dan teknologi masih rendah
3.        Pertanian modern yang produktivitasnya sangat tinggi yang disebabkan oleh pemakaian modal dan teknologi yang tinggi pula. Pada tahap ini produk pertanian seluruhnya ditujukan untuk melayani keperluan pasar komersial. Modernisasi pertanian dari tahap tradisional (subsisten)menuju pertanian modern membutuhkan banyak upaya lain selain pengaturan kembali struktur ekonomi pertanian atau penerapan teknologi pertanian yang baru.
Hampi semua masyarakat tradisional, pertanian bukanlah hanya sekedar kegiatan ekonomi saja, tetapi sudah merupakan bagian dari cara hidp mereka. Pemerintah yang berusaha mentransformasi pertanian tradisional haruslah menyadari bahwa pemahaman akan perubahan-perubahan yang mempengaruhi seluruh sosial, politik dan kelembagaan masyarakat pedesaan adalah sangat penting. Tanpa adanya perubahan-perubahan seperti itu, pembangunan pertanian tidak akan pernah bisa berhasil seperti yang diharapkan.
Revitalisasi pertanian harus menjadi sebuah kebijkan prioritas karena sektor pertanian di Indonesia selama dua dekade terakhir sangat mengecewakan sekali, mulai dari kesejahteraan para petani, kemandirian akan kebutuhan pangan hingga perkembangan pertanian itu sendiri.
Dewasa ini nampaknya yang menjadi permasalahan penting adalah penyusutan lahan persawahan hingga ada wacana pemerintah untuk menyewa sawah seluas 570.000 Ha melalui BUMN untuk ditanami padi (Kompas, 13 Mei 2011). Namun seperti di samapaikan Irawan dalam (www.ki.or.id) bahwa para petani juga memiliki kesulitan tentang
1.      Kendala struktural sumberdaya lahan
2.      Rendahnya akses terhadap input pertanian penting
3.      Minimnya terhadap modal dan dana serta
4.      Banyaknya masalah pada pemasaran output mereka.
Sehingga kebijakan revitalisasi pertanian harus diarahkan unutk memutus rantai penghalang bagi petani dalam memperoleh keadilan mulai dari aspek produksi, distribusi bahkan konsumsi.
Krisis ketahanan pangan berakar dari kebijakan pembangunan pertanian yang mengedepankn pada aspek swasembada pangan sebagai proioritas, dimana  upaya tersebut diidentiukan dengan upaya modernisasi pertanian.
Revolusi hijau sebagai bentuk modernisasi pertanian yang meskipun secara makro telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan tetapi secara mikro masih negatif bagi para petani. Menurunnya pendapatan petani secara jangka panjang menyebabkan peningkatan kemiskinan di pedesaan yang berujung pada krisis pangan. Kondisi inilah yang menjadi alasan untuk melakukan pendefinisian kembali pembangunan pertanian melalui kebijkan revitalisasi pertanian. Revitalisasi tidak semata-mata berorientasi pada ketahanan pangan namun yang lebih substansial adalah makin terbukanya akses masyarakat terhadap pangan. Dengan akses ini masyarakat khususnya petani akan dapat memiliki keberdayaan secara komperehensif terhadap produksi, distribusi dan konsumsi hasil pertanian.


Sutanto, Yusuf. 2006. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Todaro, Michael P. 2006. Economic Development, 9th edition, Longman, New York and London.

Rabu, 20 April 2011

Matriarkhi dalam Isu Ketahan Pangan

Harga pangan menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Februari 2011 setelah naik secara berturut-turut selama 8 bulan terakhir (Bisnis Indonesia, 4 Maret 2011) itulah salah satu headline yang mewarnai pergerakan isu pangan selama bulan Maret hingga April di media cetak. Kecemasan terhadap ketahanan pangan di Indonesia semakin membuat negara yang untuk pertama kalinya pada tahun 1984 mampu berswasembada beras dan pada tahun 1994 mendapat penghargaan dari Food and Agricultural Organization (FAO). Dan pada tahun 2008 mampu mengulang kejayaan yang sama dibawan menteri pertanian saat itu Dr. Anton Apriyantono.[i]
Setidaknya terdapat empat faktor menurut Tadaro (1995) yang mendorong dimensi ketahanan pangan menjadi masalah sekaligus perhatian dalam setiap perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan, keempat faktor itu adalah
1.      Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga terjadi eksploitasi berlebih terhadap SDA
2.      Pertambahan penduduk yang tidak terkendali
3.      Kegagalan teknologi dalam konversi dan subtitusi kemampuan penyediaan produk pengganti, dan
4.      Perilaku konsumtif yang dipacu oleh adanya kapitalisasi dan komodifikasi lingkungan.
Kegagalan dalam mengelola keempat faktor tersebut telah mendorong banyak negara berkembang termasuk Indonesia sedang berhadapan dengan masalah serius yaitu “ketahanan pangan”. Dan hal tersebut semakin diperparah lagi dengan krisis dan pemanasan global yang menyebabkan anomali iklim sangat fluktuatif dan unpredicted. Sehingga dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak dalam mengatasi masalah pangan agar ramalan Malthus (dalam Mantra, 2003) yang menyatakan bencana kelaparan akan terjadi di bumi karena berlebihnya pertumbuhan jumlah penduduk dibandingkan dengan pertumbuhan pemenuhan kebutuhan pangan.
Berita terkait menyebutkan data dari Bank Dunia yang melaporkan kenaikkan harga pangan telah mendorong sekitar 44 juta orang jatuh dalam kemiskinan di negara berkembang sejak bulan Juni 2010 termasuk Indonesia (Bisnis Indonesi, 4 Maret 2011). Penanganan serius harus melibatkan seluruh stakedolders terutama masyarakat. Urgensi yang sangat diharapkan adalah dengan menggandeng perempuan baik secara individual maupun organisasional. Pelibatan kaum perempuan menjadi sangat penting dan strategis karena menurut Greece (1998) memberikan alasan bahwa:
1.    Kaum perempuan adalah yang pertama dan utama terkena implikasi dan dampak pembangunan
2.    Kelompok perempuan merupakan mayoritas penduduk yang terlibat dan bersinggungan dengan kedua bidang tersebut.
3.    Upaya pemberdayaan kaum perempuan agar mempunyai kesetaraan dalam pengambilan kebijakan publik
4.    Pelibatan kaum perempuan selain sebagai upaya kesetaraan gender, yang penting lagi adalah penguatan demokratisasi.
Ketahan pangan mensyaratkan ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan makan. Dalam studinya di negara berkembang, Greece mengungkapkan temuan bahwa kelompok perempuanlah yang paling rentan terkena dampak negatif krisis ketahanan pangan dunia. Berbagai fakta muncul di tanah air, yang merefleksikan bahwa Indonesia masuk dalam klasifikasi ini. Masih tingginya tigkat kematian bayi dan ibu di negeri ini merupakan salah satu indikator kerentanan kelompok perempuan dalam menghadapi masalah lingkungan dan ketahanan pangan (Amiruddin dan Lita Purnama, 2005).
Sementara itu Vandana Shiva (1991) dalam penelitianya di India mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh implementasi kebijkana revolusi hijau di bidang pertanian ternyata tidak saja membuat kelompok perempuan tidak mampu mempertahankan kelangsungan ekonomi rumahtangganya dan ketercukupan pangan sehingga kemudia memicu konflik sosial.
Pemberdayaan perempuan dalam ketahanan pangan dapat diartikan upaya memperbesar akses dan kontrol kelompok-kelompok marginal atas sumber daya ekonomi, politik (pengambilan keputusan), dan budaya (perumusan nilai, simbol, dan ideologi). Tuntutan masyarakat dan keluarga terhadap perempuan, yang secara tradisional dikonstruksikan di dalam rumah sebagai ibu dan istri, menjadi tembok penghalang bagi perempuan untuk aktif berperan dalam kehidupan publik. Stigma yang sering kali diberikan pada perempuan yang aktif juga menyulitkan perempuan, makin susah bagi perempuan melanggar rambu yang ditetapkan masyarakat.[ii]
Padahal, hasil penelitian Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan kaum perempuan memproduksi sekitar 70% bahan pangan di negara-negara sedang berkembang dan bertanggung jawab atas 50% produksi pangan dunia. Namun peran kunci kaum perempuan sebagai produsen dan penyedia pangan dan peran yang sangat menentukan dalam memperkukuh ketahanan pangan dan kemandirian pangan rumah tangga belum mendapat perhatian proporsional.
Masalah pangan selama ini didekati dengan pandangan bersifat patriarki, terlalu teknis, rasional, persaingan, sehingga penyelesaiannya pun tak pernah menyeluruh. Padahal, kehidupan di alam semesta hanya bisa berkesinambungan dari masa lampau ke saat ini sampai ke masa depan karena ada kerahiman tak bersyarat unconditional love alam, yang dalam pikiran Timur disebut Ibu atau Mother Nature.
Pencipataan paradigma matriarkhi (budaya wanita sebagai pemimpin yang mendominasi)[i]  dalam upaya menyelamatkan pangan merupakan tindakan strategis dalam gerakan ketahanan pangan. Perempuan adalah manajer rumah tangga yang berperan aktif dalam gerakan menjaga lingkungan yang merupakan prasyarat ketersediaan pangan dan dalam usaha penguatan ketahanan pangan. Apalagi ketika perempuan tidak hanya bergerak secara individual, akan tetapi juga dengan kekuatan instituional. Dan sebuah keniscyaan modal sosial muncul sebagai transportasi mobilitas.


[i] http://www.wikipedia. org/wiki/matrilineal

Daftar Pustaka

Amiruddin, Mariana dan Lita Purnama, “Tragedi Kelaparan Nasional” dan Feminisasi Kemiskinan” dalam Jurnal Perempuan Volume 42, Th 200.
Greece, Patricia. 1998. The Woman and Development, New Jersey: Princeton University Press
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Shiva, Vindana. 1991.  The Violence of The Green Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc.
Tadaro, Michael. 1990.  Economics for a Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc




[i](http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&sqi=2&ved=0CBQQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.bbalitvet.org%2Findex.php%3Foption%3Dcom_docman%26task%3Ddoc_download%26gid%3D91&rct=j&q=sejarah%20swasembada%20beras&ei=I4F9Tfn8IoPUrQf86NC7BQ&usg=AFQjCNFwnPH_0vM73fN1v2GCouSXAsKX9A&sig2=v4yyZpD6nO6brsXDov0zqg&cad=rja)
[ii] http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/28/107362/Perempuan-Ujung-Tombak-Ketahanan-Pangan
[iii] http://www.wikipedia. org/wiki/matrilineal

Daftar Pustaka

Amiruddin, Mariana dan Lita Purnama, “Tragedi Kelaparan Nasional” dan Feminisasi Kemiskinan” dalam Jurnal Perempuan Volume 42, Th 200.
Greece, Patricia. 1998. The Woman and Development, New Jersey: Princeton University Press
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Shiva, Vindana. 1991.  The Violence of The Green Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc.
Tadaro, Michael. 1990.  Economics for a Developing World. Quezon City: Phoenix Press. Inc

Jumat, 15 April 2011

Subordinatkah Perempuan dalam Industri Maskulin



Peningkatan akses wanita pada industri manufaktur atau industri maskulin (yang menurut kaum feminist disebut demikian karena dilatarbelakangi oleh dominasi kekuatan pria dalam membangun dan mengembangkan industri tersebut) dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counterbalance) eksistensi pria yang pada kondisi terbaik pun bukan untuk melayani kepentingan wanita. Dan kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada “perspektif dan tafsir baru”.
Masuknya wanita dalam industri maskulin dikuatkan oleh isu gender di Indonesia yang termaktub dalam inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarustamaan gender dalam pembangunan nasional. Konsep ini adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Perkembangan industri sebagaimana kita ketahui banyak sekali menyerap tenaga kerja wanita. Dan kondisi minor terhadap eksistensi wanita dari deru asap pabrik-pabrik industri manufaktur. (Daulay, 2001).
Penguasaan industri manufaktur yang dalam prosesnya banyak melibatkan pria ternyata menimbulkan arahan wacana dalam konteks posisi wanita dalam industri tersebut. Kebutuhan komperehensif serta integratif antara pemikiran dan tenaga dalam mengembangkan usaha sangat dibutuhkan. Dan penjelasan lebih lanjut dalam industri manufaktur terdefinisi menjadi suatu cabang industri yang mengaplikasikan peralatan dan suatu medium proses untuk transformasi bahan mentah menjadi barang jadi  untuk dijual. Upaya ini melibatkan semua proses antara yang dibutuhkan untuk produksi dan integrasi komponen-komponen suatu produk. Beberapa industri, seperti produsen semikonduktor dan baja, juga menggunakan istilah fabrikasi atau pabrikasi. Sektor manufaktur sangat erat terkait dengan rekayasa  atau teknik. (http://id.wikipedia.org/wiki/Manufaktur).
Padahal tak bisa dipungkiri keberadaan wanita dalam sektor publik yang melibatkan tenaga sudah tidak asing kita kudap setiap hari. Beberapa media juga telah mengangkat isu serupa untuk menggemboskan isu wanita sebagai konco wingking dan sering menimbulkan cinderella complex (suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga, sehingga mereka merasa tak berani dan tak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh) bagi wanita (Ibrahim, 7: 2007).
Ideologis domestik yang seringkali menyudutkan wanita ternyata selama beberapa dekade terakhir dipatahkan oleh kiprah wanita itu sendiri. Selama ini sistem patriarkhi telah menempatkan wanita pada kondisi subordinat. Penempatan pada posisi buruh acapkali kita temui di industr-industri seperti tekstil, rokok, dll. Mereka dicitrakan sebagai buruh ideal yang terampil, rajin, teliti, dan patuh. Citra semacam ini menjadi mitos yang dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakumulasi modal. ( Tjandraningsih 1997; 253).
Fakih (1996) mengklasifikasikan bahwa kondisi wanita saat ini termanifestasikan dalam bentuk:
1.    Marginalisasi dan proses pemiskinan ekonomi
2.    Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik
3.    Stereotip atau pelabelan negatif
4.    Kekerasan, dan
5.    Beban kerja di rumah tangga
Berdasarkan analisis ketidakadilan yang termanifestasikan diatas dapat kita tarik garis saat kita korelasikan terhadap struktur organisasi dalam industri manufaktur.
Dewasa ini sudah banyak wanita yang sudah mampu memasuki sektor publik dan tidak hanya sebagai supporting staff namun bahkan banyak juga yang menduduki jajaran middle hingga top manajemen. Sebagai contoh yang telah terpublish diberbagai media adalah menjabatnya seorang wanita yang menjadi direktur pada sebuah perusahaan minyak nasional. Strategisnya posisi sosok wanita menjadi sebuah tonggak perubahan yang signifikan terhadap subordinat yang selama ini dirasakan.
Perjuangan para wanita yang eksis di industri maskulin (manufaktur) secara esensi telah mendeklarasikan dua kata penting dalam tataran struktur sosial, yaitu reformasi dan transformasi. Reformer diartikan sebagai pencari perubahan terhadap struktur yang ada dengan cara berjuang untuk mencapai hak-hak yang sama dengan pria. Sedangkan transformer berarti mencari suatu tantangan gender yang baru, yang akan membebaskn semua wanita melalui perubahan yang radikal dalam sistem nilai yang ada.
Konteks subordinasi akan selalu kita hubungkan dengan kelompok ordinat atau superior dan tersubordinasi. Hubungan ini melukiskan interval yang cukup signifikan antara kedua variabel tersebut. Seringkali wanita menjadi subordinat karena ke irrasionalkan, emosional, dan lemah sehinggan menempatkan perempuan pada posisi yang kurang strategis. Sistem ini terinternalisasi dalam sistem kapitalis yang menganggap bahwa laki-laki dibangun sebagai “tuan” dan relasinya wanita sebagai “buruh”
Sehingga bisa disimpulkan keberadaan wanita dalam industri manufaktur memang dibutuhkan untuk memberikan sentuhan khas perempuan yang memiliki nilai-nilai matriarkhi yang tidak dimiliki oleh laki-laki demi menjaga keberlangsungan perusahaan dan bertahan.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. 1997.  Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia kontemporer.  Yogyakarta: Jalasutra
Daulay, Harmona. 2001. Buruh Perempuan di Industri Manufaktur Suatu Kajian dan Analisis Gender.  FISIP USU.